Senyum Palsuku

Gelisah di balik topeng merasa menjadi orang terkutuk tak ada lagi peri kecil hanya ada senyuman palsu

Kasih SayangSeorang Ibu

Seorang anak menghampiri ibunya sedang sibuk menyediakan makan malam di dapur. Kemudian dia mengulurkan sekeping kertas yang bertuliskan sesuatu. Si Ibu segera membersihkan tangan dan lalu menerima kertas yang diulurkan oleh si anak dan membacanya.
Ongkos upah membantu ibu :
1) Membantu pergi Ke warung Rp 20.000
2) Menjaga adik Rp 20.000
3) Membuang sampah Rp 5.000
4) Membereskan tempat tidur Rp 10.000
5) menyiram bunga Rp 15.000
6) Menyapu halaman Rp 15.000
Jumlah : Rp 85.000
Selesai membaca, si ibu tersenyum memandang si anak yang raut mukanya berbinar-binar. Si Ibu mengambil pena dan menulis sesuatu dibelakang kertas yang sama.
1) Ongkos mengandungmu selama 9 bulan – GRATIS
2) Ongkos berjaga malam karena menjagamu – GRATIS
3) Ongkos air mata yang menetes karenamu – GRATIS
4) Ongkos Khawatir karena selalu memikirkan keadaanmu – GRATIS
5) Ongkos menyediakan makan minum, pakaian dan keperluanmu – GRATIS
Jumlah Keseluruhan Nilai Kasihku – GRATIS
Air mata si anak berlinang setelah membaca. Si anak menatap wajah ibu, memeluknya dan berkata, “Aku Sayang Ibu”. Kemudian si anak mengambil pena dan menulis sesuatu di depan surat yang ditulisnya :“TELAH DIBAYAR LUNAS”.
Diriwayatkan seorang telah bertemu Rasul Allah Muhammad SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak mendapatkan layanan istimewa dariku ?”. Rasulullah menjawab, “Ibumu”. Kemudian ???, Rasulullah menjawab, “Ibumu..” Kemudian ???, Rasulullah menjawab, “Ibumu..”. Kemudian Rasulullah menjawab, “Baru Kemudian Ayahmu dan setelah itu saudara-saudara terdekatmu”.
Maka, sebelum semuanya terlambat, dan sebelum kita menyesal, sebelum mereka tiada, sayangi dan perlakukan ibu kita sebaik mungkin yang bisa kita lakukan, karena sebesar apapun kekayaan yang kita berikan padanya, tidak akan bisa membayar keihlasan atas segala jerih payahnya membesarkan kita. Percayalah, jika kita berbuat yang kurang baik terhadap ibu kita, dampaknya akan terlihat di dunia ini. Memang benar, “surga itu ada di telapak kaki ibu“.***

Kasih Ibu

 jam berlalu. Hujan diluar telah reda. Matahari kembali terik. Aku melirik jam tanganku sudah setengah tiga siang, percik air hujan masih menempel dikaca jendela mejadi buih-buih berkilauan terkena pantulan cahaya matahari yang mulai condong kebarat.Aku berdiri dan melangkah meninggalkan meja kerjaku. Pintu ruangan aku kunci rapat. Hari ini aku tidak ingin diganggu oleh siapapun, entah mengapa hari ini badanku lemas sekali, mungkin karena tadi malam aku susah tidur, kebanyakan minum kopi. Aku dekati jendela, kusibakan tirai yang menghalangi pandangan keluar. Aku longokkan kepalaku. Suasana kembali ramai seperti tadi, kemarin dan kemarin-kemarin. Aktivitas penduduk kota seperti ini, seakan tidak ada berhentinya. Hilir mudik orang-orang dengan urusannya masing-masing, tukang parkir tak kenal panas dan hujan melengkingkan peluitnya dan berteriak membantu, mengatur dan mengeluarkan kendaraan dari tempat parkir di depan gedung ini. Pandanganku terpaku pada sosok wanita setengah tua yang menggendong keranjang dan tempayan kue. Ia duduk sambil berkipas menghilangkan peluh yang mengalir deras, aku melihat dia terseok kelelahan, berjalan dari barisan ruko-ruko yang berjajar dipinggir jalan. Wajahnya menghitam, kriput diwajahnya menandakan kepahitan dan kegetiran hidup. Pasti ia lakukan semua itu demi anak-anaknya. Aku jadi teringat Bunda. Waktu itu Bunda menatapku penuh kasih sebelum bayang tubuhnya lenyap tertutup kabut pagi. Kriput diwajah itu gambaran lelah yang sangat. Bunda melangkah membawa beban dipundaknya sekerajang kue. Bunda bangkit dari duduknya sebuah pohon asem yang rindang di pinggir jalan tempat biasa bunda beristirahat, dikemasi keranjang kue yang dijajakannya. Hari masih terlalu pagi dan bunda harus sampai di perkampungan. Mulai bunda terseok menyusuri jalan setapak menuju perkampungan dengan beban keranjang yang berisi penuh kue-kue. Jarak rumahku dengan perkampungan yang ramai kira-kira satu kilo meter.  Bunda tulus berkorban untuk ku. Tak meminta balasan apa pun kecuali surga. Bunda mengelus rambutku ketika senja datang bersama kelelahan, setelah seharian berkeliling. Semua kue habis meskipun tidak terjual. Anak-anak yatim piatu adalah langganan gratis kue Bunda.  Setiap mengawali penjajakannya Bunda mampir di panti asuhan yatim piatu, Bunda sempatkan untuk memberikan kue pada anak-anak yang telah ditinggal oleh kedua orang tuanya. Mereka kegirangan, berlari menghampiri Bunda yang sudah tersenyum dari jauh. Seperti tak kenal bosan, setiap pagi mereka menunggu Bunda. Bunda merasakan apa yang dirasakan mereka, jika melihat mereka bunda teringat akan aku. Air matanya mengalir haru. Ia bayangkan andai aku tak punya Bunda pasti aku seperti mereka, tinggal dipanti yang kurang terjamin segalanya. Jika menginginkan sesuatu mereka harus menunggu lama sampai ada manusia yang mulia hatinya menyumbangkan sedikit hartanya.Walaupun aku hidup tanpa Ayah tapi aku beruntung masih punya Bunda. Ayah entah kemana. Kata Bunda, Ayah telah pergi ke Neraka. Aku tak mau melukai hati Bunda, dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Ayah. Aku cinta Bunda. Hari kamis, aku menunggu Bunda pulang. Sepulang sekolah aku membereskan rumah, menyiapkan bahan-bahan yang akan dibuat kue oleh Bunda. Hari semakin senja seperti biasa aku menunggu Bunda di teras rumah yang mungil ini. Merindukan usapan tangan Bunda yang lembut menembus relung-relung hati yang selalu haus kasih sayang yang selalu merindukan belaian lembut tangan Bunda. Tak bosan aku dengan kemanjaan ini. Kelembutan Bunda mampu membuat aku berpikir untuk selalu menyayanginya dan mewujudkan apa yang diharapkannya. Bunda mengaharapkan aku menjadi manusia yang beruntung di masa depan, meskipun tanpa Ayah. Bunda bertekad untuk membiayai pendidikanku setinggi-tingginya. Tak pernah dipikirakan oleh Bunda, harta dan kekayaan. Bagi Bunda aku adalah harta satu-satunya dan kekayaan yang abadi. Walau harus berkeliling dan terseok dijalanan Bunda berharap suatu saat aku akan menjadi apa yang Bunda impikan. Aku masih duduk menunggu Bunda pulang. Senja berubah menjadi petang, tak juga Bunda datang. Aku mulai resah, aku tatap setapak jalan yang biasa di lalui oleh Bunda. Rinduku semakin memuncak. Debar jantungku semakin berdekup cepat. Aku halau pikiranku tentang kejelekan terjadi pada Bunda.  “ Bunda Pasti pulang” itu yang aku tanamkan dalam hati. Dalam keremangan petang nampak tubuh berjalan terseok terbungkuk menggendong keranjang. Hatiku berdesir senang. Senyum bunda mengembang dari kejauhan. Aku berdiri dan berlari menghampiri bunda. Aku peluk tubuh Bunda yang lelah dengan eratnya. Aku menangis. “ Bunda ? aku takut. Takut sekali kehilangan Bunda” kataku disela tangisku.Bunda tersenyum. Lembut jemarinya mengusap rambutku. “ Maafkan Bunda sayang. Bunda agak telat karena Bunda harus menjajakan kue sampai jauh” ucap Bunda menenangkanku. Bunda membimbingku masuk. Keranjang kue yang kosong diletakan di atas meja kayu yang rapuh. Bunda bersiap mandi. Aku buru-buru membuatkan teh hangat untuk Bunda. Malam semakin temaram. Pijar lampu minyak menerangi sebagian ruangan. Bunda rebahkan tumbuhnya yang lelah di atas balai bambu. Seperti biasa aku pijat kaki Bunda yang mengeras kaku. Bunda meringis lalu tersenyum. “ Nah itu, ya itu. Pakai minyak kelapa ya sayang biar enak, di kasih bawang merah dan kencur ya” Aku bergegas membuat minyak urut dari miyak kelapa dibubuhi bawang merah dan kencur yang dihaluskan. Itu bisa membuat Bunda segar kembali esok pagi. Entah berapa puluh kilo jalan yang dilalui bunda. Telapak kakinya seakan tebal oleh panasnya aspal yang diinjaknya.Seperti biasa, setelah aku urut tak bosan-bosannya bunda menemani aku belajar hingga malam semakin larut. Sambil memberikan wejangan dan nasehat.“ Kelak jika kamu berhasil, jangan lupa asalmu ya” kata bunda disela kesibukanku mengerjakan PR. Aku mengagguk paham. Yang bunda maksudkan aku tidak boleh melupakan Bunda seperti Malin Kundang yang durhaka. Aku tidak boleh melupakan anak-anak yang seperti aku yang yatim dan piatu. Bunda mengajarkan aku ahklak yang mulia. Bunda mangajarkan padaku kasih sayang yang tulus. Bunda mengajarkan aku keihklasan akan hidup. “Tak ada hidup yang susah” kata bunda. “Semua bagaimana kita menyikapinya.”  Pola pikir bunda tertempa oleh keadaan yang sangat menekankan jiwanya Ayah pergi sebelum aku lahir. Bunda adalah sosok wanita yang perkasa, anggun dan bijaksana. Bagi ku tak ada yang menandingi kasih bunda.  Aku tidak pernah mau tahu tentang Ayah. Karena yang aku tahu Bunda menderita karenanya. Namun, terkadang rasa ingin tahu bagaimana rasanya punya Ayah tiba-tiba datang, ketika melihat Anto, Inem, Buang dan Ari yang sekolahnya diantar jemput oleh Ayah-ayah mereka. Terkadang iri ada juga dalam hati, ketika melihat mereka bermaja dengan Ayah-ayah mereka. Aku hanya tertunduk dan menjauh dari mereka.  Bunda selalu berucap “ Jangan kau merasa kerdil ya sayang, walaupun kau tumbuh sendiri tanpa Ayah. Kau masih punya Tuhan dan Bunda yang selalu setia menjagamu dalam suka dan duka”.Ketegaran jiwa Bunda adalah gambaran sosok ibu sejati, tak pernah mengeluh dan berkesah dengan krontangnya hati yang sepi. Bunda bagiku sumber kekuatan sejati, kasih bunda mengalir bagai mata air yang jernih dari puncak gunung yang setia mengaliri seluruh sendi kehidupan di lembah –lembah hingga ke muara. Aku berjanji pada bunda. Suatu hari aku akan membahagiakan Bunda, aku rela andai aku di beri Tuhan surga maka akan aku berikan surgaku untuk  Bunda. Angan masa kecilku mencuat tinggi hingga memecahkan bintang-bintang di angkasa, bunda tersenyum melihatku sedang duduk memandangi malam, bersama bintang-bintang di atas sana.“ Sayang, kelak kamu akan menjadi sinar itu. Berkilau dan mengagumkan. Namun, kamu jangan lupa asalmu” aku mengaguk paham. Malam semakin larut tangan Bunda yang lembut membimbingku masuk ke dalam bilik sambil menyanyikan sebuah lagu, Bunda memelukku dengan tangannya yang dingin dan layu. Bunda belai rambutku lalu kami tertidur dengan senyum.

.

10 Februari 2011

Kasih SayangSeorang Ibu

Seorang anak menghampiri ibunya sedang sibuk menyediakan makan malam di dapur. Kemudian dia mengulurkan sekeping kertas yang bertuliskan sesuatu. Si Ibu segera membersihkan tangan dan lalu menerima kertas yang diulurkan oleh si anak dan membacanya.
Ongkos upah membantu ibu :
1) Membantu pergi Ke warung Rp 20.000
2) Menjaga adik Rp 20.000
3) Membuang sampah Rp 5.000
4) Membereskan tempat tidur Rp 10.000
5) menyiram bunga Rp 15.000
6) Menyapu halaman Rp 15.000
Jumlah : Rp 85.000
Selesai membaca, si ibu tersenyum memandang si anak yang raut mukanya berbinar-binar. Si Ibu mengambil pena dan menulis sesuatu dibelakang kertas yang sama.
1) Ongkos mengandungmu selama 9 bulan – GRATIS
2) Ongkos berjaga malam karena menjagamu – GRATIS
3) Ongkos air mata yang menetes karenamu – GRATIS
4) Ongkos Khawatir karena selalu memikirkan keadaanmu – GRATIS
5) Ongkos menyediakan makan minum, pakaian dan keperluanmu – GRATIS
Jumlah Keseluruhan Nilai Kasihku – GRATIS
Air mata si anak berlinang setelah membaca. Si anak menatap wajah ibu, memeluknya dan berkata, “Aku Sayang Ibu”. Kemudian si anak mengambil pena dan menulis sesuatu di depan surat yang ditulisnya :“TELAH DIBAYAR LUNAS”.
Diriwayatkan seorang telah bertemu Rasul Allah Muhammad SAW dan bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang paling berhak mendapatkan layanan istimewa dariku ?”. Rasulullah menjawab, “Ibumu”. Kemudian ???, Rasulullah menjawab, “Ibumu..” Kemudian ???, Rasulullah menjawab, “Ibumu..”. Kemudian Rasulullah menjawab, “Baru Kemudian Ayahmu dan setelah itu saudara-saudara terdekatmu”.
Maka, sebelum semuanya terlambat, dan sebelum kita menyesal, sebelum mereka tiada, sayangi dan perlakukan ibu kita sebaik mungkin yang bisa kita lakukan, karena sebesar apapun kekayaan yang kita berikan padanya, tidak akan bisa membayar keihlasan atas segala jerih payahnya membesarkan kita. Percayalah, jika kita berbuat yang kurang baik terhadap ibu kita, dampaknya akan terlihat di dunia ini. Memang benar, “surga itu ada di telapak kaki ibu“.***

Kasih Ibu

 jam berlalu. Hujan diluar telah reda. Matahari kembali terik. Aku melirik jam tanganku sudah setengah tiga siang, percik air hujan masih menempel dikaca jendela mejadi buih-buih berkilauan terkena pantulan cahaya matahari yang mulai condong kebarat.Aku berdiri dan melangkah meninggalkan meja kerjaku. Pintu ruangan aku kunci rapat. Hari ini aku tidak ingin diganggu oleh siapapun, entah mengapa hari ini badanku lemas sekali, mungkin karena tadi malam aku susah tidur, kebanyakan minum kopi. Aku dekati jendela, kusibakan tirai yang menghalangi pandangan keluar. Aku longokkan kepalaku. Suasana kembali ramai seperti tadi, kemarin dan kemarin-kemarin. Aktivitas penduduk kota seperti ini, seakan tidak ada berhentinya. Hilir mudik orang-orang dengan urusannya masing-masing, tukang parkir tak kenal panas dan hujan melengkingkan peluitnya dan berteriak membantu, mengatur dan mengeluarkan kendaraan dari tempat parkir di depan gedung ini. Pandanganku terpaku pada sosok wanita setengah tua yang menggendong keranjang dan tempayan kue. Ia duduk sambil berkipas menghilangkan peluh yang mengalir deras, aku melihat dia terseok kelelahan, berjalan dari barisan ruko-ruko yang berjajar dipinggir jalan. Wajahnya menghitam, kriput diwajahnya menandakan kepahitan dan kegetiran hidup. Pasti ia lakukan semua itu demi anak-anaknya. Aku jadi teringat Bunda. Waktu itu Bunda menatapku penuh kasih sebelum bayang tubuhnya lenyap tertutup kabut pagi. Kriput diwajah itu gambaran lelah yang sangat. Bunda melangkah membawa beban dipundaknya sekerajang kue. Bunda bangkit dari duduknya sebuah pohon asem yang rindang di pinggir jalan tempat biasa bunda beristirahat, dikemasi keranjang kue yang dijajakannya. Hari masih terlalu pagi dan bunda harus sampai di perkampungan. Mulai bunda terseok menyusuri jalan setapak menuju perkampungan dengan beban keranjang yang berisi penuh kue-kue. Jarak rumahku dengan perkampungan yang ramai kira-kira satu kilo meter.  Bunda tulus berkorban untuk ku. Tak meminta balasan apa pun kecuali surga. Bunda mengelus rambutku ketika senja datang bersama kelelahan, setelah seharian berkeliling. Semua kue habis meskipun tidak terjual. Anak-anak yatim piatu adalah langganan gratis kue Bunda.  Setiap mengawali penjajakannya Bunda mampir di panti asuhan yatim piatu, Bunda sempatkan untuk memberikan kue pada anak-anak yang telah ditinggal oleh kedua orang tuanya. Mereka kegirangan, berlari menghampiri Bunda yang sudah tersenyum dari jauh. Seperti tak kenal bosan, setiap pagi mereka menunggu Bunda. Bunda merasakan apa yang dirasakan mereka, jika melihat mereka bunda teringat akan aku. Air matanya mengalir haru. Ia bayangkan andai aku tak punya Bunda pasti aku seperti mereka, tinggal dipanti yang kurang terjamin segalanya. Jika menginginkan sesuatu mereka harus menunggu lama sampai ada manusia yang mulia hatinya menyumbangkan sedikit hartanya.Walaupun aku hidup tanpa Ayah tapi aku beruntung masih punya Bunda. Ayah entah kemana. Kata Bunda, Ayah telah pergi ke Neraka. Aku tak mau melukai hati Bunda, dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Ayah. Aku cinta Bunda. Hari kamis, aku menunggu Bunda pulang. Sepulang sekolah aku membereskan rumah, menyiapkan bahan-bahan yang akan dibuat kue oleh Bunda. Hari semakin senja seperti biasa aku menunggu Bunda di teras rumah yang mungil ini. Merindukan usapan tangan Bunda yang lembut menembus relung-relung hati yang selalu haus kasih sayang yang selalu merindukan belaian lembut tangan Bunda. Tak bosan aku dengan kemanjaan ini. Kelembutan Bunda mampu membuat aku berpikir untuk selalu menyayanginya dan mewujudkan apa yang diharapkannya. Bunda mengaharapkan aku menjadi manusia yang beruntung di masa depan, meskipun tanpa Ayah. Bunda bertekad untuk membiayai pendidikanku setinggi-tingginya. Tak pernah dipikirakan oleh Bunda, harta dan kekayaan. Bagi Bunda aku adalah harta satu-satunya dan kekayaan yang abadi. Walau harus berkeliling dan terseok dijalanan Bunda berharap suatu saat aku akan menjadi apa yang Bunda impikan. Aku masih duduk menunggu Bunda pulang. Senja berubah menjadi petang, tak juga Bunda datang. Aku mulai resah, aku tatap setapak jalan yang biasa di lalui oleh Bunda. Rinduku semakin memuncak. Debar jantungku semakin berdekup cepat. Aku halau pikiranku tentang kejelekan terjadi pada Bunda.  “ Bunda Pasti pulang” itu yang aku tanamkan dalam hati. Dalam keremangan petang nampak tubuh berjalan terseok terbungkuk menggendong keranjang. Hatiku berdesir senang. Senyum bunda mengembang dari kejauhan. Aku berdiri dan berlari menghampiri bunda. Aku peluk tubuh Bunda yang lelah dengan eratnya. Aku menangis. “ Bunda ? aku takut. Takut sekali kehilangan Bunda” kataku disela tangisku.Bunda tersenyum. Lembut jemarinya mengusap rambutku. “ Maafkan Bunda sayang. Bunda agak telat karena Bunda harus menjajakan kue sampai jauh” ucap Bunda menenangkanku. Bunda membimbingku masuk. Keranjang kue yang kosong diletakan di atas meja kayu yang rapuh. Bunda bersiap mandi. Aku buru-buru membuatkan teh hangat untuk Bunda. Malam semakin temaram. Pijar lampu minyak menerangi sebagian ruangan. Bunda rebahkan tumbuhnya yang lelah di atas balai bambu. Seperti biasa aku pijat kaki Bunda yang mengeras kaku. Bunda meringis lalu tersenyum. “ Nah itu, ya itu. Pakai minyak kelapa ya sayang biar enak, di kasih bawang merah dan kencur ya” Aku bergegas membuat minyak urut dari miyak kelapa dibubuhi bawang merah dan kencur yang dihaluskan. Itu bisa membuat Bunda segar kembali esok pagi. Entah berapa puluh kilo jalan yang dilalui bunda. Telapak kakinya seakan tebal oleh panasnya aspal yang diinjaknya.Seperti biasa, setelah aku urut tak bosan-bosannya bunda menemani aku belajar hingga malam semakin larut. Sambil memberikan wejangan dan nasehat.“ Kelak jika kamu berhasil, jangan lupa asalmu ya” kata bunda disela kesibukanku mengerjakan PR. Aku mengagguk paham. Yang bunda maksudkan aku tidak boleh melupakan Bunda seperti Malin Kundang yang durhaka. Aku tidak boleh melupakan anak-anak yang seperti aku yang yatim dan piatu. Bunda mengajarkan aku ahklak yang mulia. Bunda mangajarkan padaku kasih sayang yang tulus. Bunda mengajarkan aku keihklasan akan hidup. “Tak ada hidup yang susah” kata bunda. “Semua bagaimana kita menyikapinya.”  Pola pikir bunda tertempa oleh keadaan yang sangat menekankan jiwanya Ayah pergi sebelum aku lahir. Bunda adalah sosok wanita yang perkasa, anggun dan bijaksana. Bagi ku tak ada yang menandingi kasih bunda.  Aku tidak pernah mau tahu tentang Ayah. Karena yang aku tahu Bunda menderita karenanya. Namun, terkadang rasa ingin tahu bagaimana rasanya punya Ayah tiba-tiba datang, ketika melihat Anto, Inem, Buang dan Ari yang sekolahnya diantar jemput oleh Ayah-ayah mereka. Terkadang iri ada juga dalam hati, ketika melihat mereka bermaja dengan Ayah-ayah mereka. Aku hanya tertunduk dan menjauh dari mereka.  Bunda selalu berucap “ Jangan kau merasa kerdil ya sayang, walaupun kau tumbuh sendiri tanpa Ayah. Kau masih punya Tuhan dan Bunda yang selalu setia menjagamu dalam suka dan duka”.Ketegaran jiwa Bunda adalah gambaran sosok ibu sejati, tak pernah mengeluh dan berkesah dengan krontangnya hati yang sepi. Bunda bagiku sumber kekuatan sejati, kasih bunda mengalir bagai mata air yang jernih dari puncak gunung yang setia mengaliri seluruh sendi kehidupan di lembah –lembah hingga ke muara. Aku berjanji pada bunda. Suatu hari aku akan membahagiakan Bunda, aku rela andai aku di beri Tuhan surga maka akan aku berikan surgaku untuk  Bunda. Angan masa kecilku mencuat tinggi hingga memecahkan bintang-bintang di angkasa, bunda tersenyum melihatku sedang duduk memandangi malam, bersama bintang-bintang di atas sana.“ Sayang, kelak kamu akan menjadi sinar itu. Berkilau dan mengagumkan. Namun, kamu jangan lupa asalmu” aku mengaguk paham. Malam semakin larut tangan Bunda yang lembut membimbingku masuk ke dalam bilik sambil menyanyikan sebuah lagu, Bunda memelukku dengan tangannya yang dingin dan layu. Bunda belai rambutku lalu kami tertidur dengan senyum.